Minggu, 28 November 2010

Nafkah Bagi Wanita Beriddah

A. Pengertian Nafkah
Nafkah ialah apa saja yang diberikan kepada istri, seperti makanan, pakaian, uang atau lainnya.
Nafkah sudah menjadi ketetapan Allah atas para suami, bahwa mereka wajib menunaikannya kepada istri-istri mereka, meski telah diceraikan sekali pun selagi masih dalam masa iddah. Karena Allah SWT telah berfirman: (QS. Al-Baqarah: 241)
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

B. Pengertian dan Dalil Hukum Iddah
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya.

Kata ‘iddah berasal dari kata kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Dari sudut bahasa, kata ‘iddah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada perempuan.

Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ‘iddah dengan rumusan, antara lain :

اسم للمدة التى تنتظر فيها المرأة وتمتسع عن التزويج بعد وفاة زوجها أو فراته لها

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa ‘iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya. Baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.

Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.
Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan, antara lain:
a. Suatu tenggang waktu tertentu
b. Wajib dijalani si bekas istri
c. Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
d. Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah

Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa: Iddah adalah tenggang waktu dimana janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi suami bila talak itu berupa talak raj’i.

Perempuan yang ber’iddah (al-mu’taddah) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, perempuan yang ber’iddah karena ditinggal mati oleh suaminya (almutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ). Ketentuan masa ‘iddahnya adalah: [1] empat bulan sepuluh hari (arba’ah asyhur wa ‘asyr), dengan catatan tidak hamil, baik pernah dukhûl maupun tidak; [2] sampai melahirkan (wadh’u al-hamli), jika kehamilannya dinisbatkan kepada shâhib al-‘iddah.

Kedua, perempuan yang ber’iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (ghayr al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ). Ketentuan masa ‘iddahnya adalah [1] sampai melahirkan, bila kehamilan dinisbatkan kepada shâhib al-‘iddah; [2] tiga qurû`, jika ia pernah menstruasi; [3] tiga bulan (tsalâtsat asyhur), bila belum menstruasi atau sudah putus dari periode haidh (ya`isah).
Selanjutnya, yang menarik untuk mendapatkan fokus perhatian cukup dalam hubungan ini adalah fungsi ‘iddah, yaitu membersihkan diri dari pengaruh atau akibat hubungan perempuan bersangkutan dengan suami yang menceraikannya.

Dalam hal terakhir ini, definisi kelompok Syafi’iyyah tentang ‘iddah layak untuk diperhatikan:
مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها او للتعبد أو لتفجعها على زوجها

Definisi tersebut mengisyaratkan tiga fungsi ‘iddah, yaitu:
a. barâ`ah ar-rahim (membersihkan rahim),
b. ta’abbud (pengabdian diri kepada Tuhan), dan
c. tafajju’ (bela sungkawa atas kematian suami).

Dengan demikian, sebenarnya tidak mudah juga mematrik pengertian ‘iddah dalam suatu ungkapan. Di samping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat, dan fungsi ‘iddah. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber-’iddah hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki. Para ulama sepakat bahwa perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani ‘iddah. Konsensus ini didasarkan kepada al-Qur`an, al-Hadits, dan al-Ijmâ’.

Tetapi, para ulama fiqh berbeda pendapat tentang perceraian yang terjadi setelah wathi` syubhat, pernikahan fâsid, dan zina. Golongan al-Dzahiri, misalnya, tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang dicerai secara fâsid, walaupun sudah terjadi dukhûl, sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Sedangkan golongan lainnya mewajibkan ‘iddah bagi perempuan semacam itu. Bagi kelompok kedua ini, wathi` syubhat dan wathi` yang dilakukan dalam nikah yang fâsid adalah sama saja dengan wathi` dalam pernikahan yang sah dalam pokok soal; melihat kondisi rahim dan kandungannya dinisbatkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.

Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan at-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber’iddah, dengan alasan bahwa kegunaan ‘iddah adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka—tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ‘iddah bagi perempuan yang berzina.

Agaknya, jika ‘iddah dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber’iddah. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ‘iddah tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ‘iddah. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ‘iddah. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ‘iddah merupakan ijtihâd ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar.

C. Macam-Macam Talak
Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai nafkah bagi wanita beriddah, sedikit akan dibahas macam-macam talak agar lebih mudah dipahami. Dalam sub bab ini terdapat tiga pembahasan, yaitu:

a. Talak ba’in dan talak raj’i
Fuqaha’ telah sependapat bahwa talak itu ada dua macam, yaitu talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i ialah suatu talak di mana suami memiliki hak untuk merujuk istri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada istri yang telah digauli.
Mengenai talak ba’in, fuqaha sependapat bahwa talak tersebut terjadi karena belum terdapatnya pergaulan, karena jumlah bilangan talak dan penerimaan ganti pada khulu’, meski masih diperselisihkan di antara fuqaha, apakah khulu’ itu talak atau fasakh.
Fuqaha juga sependapat bahwa bilangan talak yang mengakibatkan talak ba’in pada orang merdeka adalah tiga kali talak, jika dijatukan secara terpisah-pisah.

b. Talak sunni dan talak bid’i
Fuqaha sependapat bahwa orang yang dianggap menjatuhkan talak sunni terhadap istrinya apabila ia menjatuhkan satu talak ketika istrinya dalam keadaan suci dan belum digauli, sedang orang yang menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah digauli adalah talak bid’i.

c. Khulu’
Kata-kata khulu’, fidyah, shulh, dan mubara’ah, semuanya mengacu pada satu makna, yaitu pemberian ganti rugi oleh seorang perempuan atas talak yang diperolehnya. Hanya saja masing-masing kata tersebut mempunyai arti khusus. Khulu’ adalah pemberian oleh istri kepada suami semua harta yang diberikan oleh suami kepadanya. Shulh adalah pemberian sebagian harta. Fidyah adalah pemberian sebagian besar harta. Dan mubara’ah adalah penghapusan oleh istri atas suami dari hak-hak yang dimilikinya.

D. Hak-Hak Orang yang Beriddah dan Ikhtilaf ‘Ulama
Jika dilacak secara agak dalam, sejatinya terdapat aturan dalam al-Qur`an bahwa lelaki harus menanggung beban material dari pernikahan dan perceraian. Beban itu adalah pemberian nafkah oleh suami untuk istri dalam masa pernikahan atau mut’ah bagi istri yang baru diceraikan selama masa ‘iddah. Allah SWT. Berfirman: (al-Baqarah ayat 241),

“Kepada perempuan-perempuan yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’rûf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, pembahasan mengenai iddah dibagi menjadi dua. Pertama, iddah macam-macam istri. Kedua, iddah karena kematian suami. Pembicaraan mengenai iddah macam-macam istri dibagi menjadi dua. Pertama, lamanya waktu iddah. Kedua, hak-hak orang yang beriddah.

Mengenai hak-hak istri yang sedang beriddah, fuqaha sependapat bahwa istri yang beriddah dari talak raj’i memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Begitu pula halnya wanita yang sedang hamil, berdasarkan firman Allah berkenaan dengan istri-istri yang ditalak raj’i dan istri-istri yang ditalak dalam keadaan hamil: (Ath-Talaq: 6)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...

Kemudian fuqaha berselisih pendapat mengenai tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalak ba’in tidak dalam keadaan hamil dalam tiga pendapat.
Pendapat pertama, menetapkan istri berhak tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha Kufah.

Abu Hanifah berkata: Ia punya hak nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang dithalaq raj’i. Karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suami masih ada hak kepadanya. Jadi dia wajib mendapatkan nafkahnya. Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak hari jatuhnya thalaq, tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya putusan Pengadilan. Hutang ini tidak dapat hapus, kecuali sesudah dibayar lunas atau dibebaskan.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa istri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal maupun nafkah. Pendapat ini dikemukakan oelh Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq, dan segolongan fuqaha.

Pendapat ketiga, hanya menetapkan tempat tinggal saja untuk istri tersebut tanpa nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik, Syafi’i, dan yang lain.
Syafi’i dan Malik berkata: Ia mendapat hak tempat tinggal, tetapi tidak mendapat hak nafkah, kecuali kalau hamil. Karena ‘Aisyah dan Ibnu Musayyab menolak hadits Fathimah.

Silang pendapat ini disebabkan adanya perbedaan riwayat tentang hadits Fatimah binti Qais dan adanya pertentangan antara hadits tersebut dengan lahir ayat al-Qur’an.

Fuqaha yang tidak menetapkan tempat tinggal dan nafkah bagi istri tersebut beralasan dengan hadits Fatimah binti Qais, yaitu:
إنما قالت: طلقنى زوجى ثلاثا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فلم يجعل لى سكنى ولا نفقة

“Fatimah binti Qais berkata, ‘Suamiku menceraikan aku tiga kali pada masa Rasulullah Saw. Kemudian aku datang kepada Nabi Saw., maka beliau tidak menetapkan tempat tinggal atau nafkah untukku.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dalam sebuah riwayat disebutkan demikian:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنما السكنى و النفقة لمن لزوجها عليها الرجعة

“Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Tempat tinggal dan nafkah hanyalah bagi istri yang dapat dirujuk oleh suaminya’” (HR. Ahmad)

Pendapat ini diriwayatkan dari Ali r.a., Ibnu Abbas r.a., dan Jabir bin Abdullah r.a.
Akan halnya fuqaha yang menetapkan tempat tinggal tanpa nafkah bagi istri yang ditalak ba’in dan tidak hamil beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ dari hadits Fatimah tersebut, di mana di dalamnya disebutkan:
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس لك عليه النفقة

“Maka Rasulullah Saw. Berkata, ‘Anda tidak mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah dari dia.’”
Kemudian Rasulullah Saw. Menyuruh Fatimah untuk menjalani iddahnya di rumah Ibnu Ummi Maktum, dan dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya penghapusan tempat tinggal. Itulah sebabnya, mereka tetap memegangi keumuman firman Allah: (Ath-Thalaq: 6)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...

Mereka mengemukakan alasan berkenaan dengan perintah Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais untuk menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum bahwa hal itu karena omongannya jelek.
Sedang fuqaha yang mewajibkan adanya tempat tinggal dan nafkah, mereka beralasan dengan keumuman firman Allah, “tempatkanlah mereka (istri-istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu: (QS. Ath-thalaq: 6). Dan untuk kewajiban nafkah, mereka mengemukakan, nafkah itu ikut wajibnya penyediaan tempat tinggal pada talak raj’i atas istri yang sedang hamil dan pada kewajiban suami istri itu sendiri. Ringkasnya, jika tempat itnggal itu diwajibkan berdasarkan ketentuan syara’, nafkah pun menjadi wajib pula.

Dari Umar r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata tentang hadits Fatimah tersebut:
لا ندع كتاب نبينا وسنته لقول امرأة
“Kami tidak akan meniggalkan kitab Nabi kami dan sunahnya hanya karena kata-kata seorang perempuan.”

Yang dimaksud dengan kitab Nabi adalah firman Allah “tempatkanlah mereka (istri-istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu: (QS. Ath-Thalaq: 6)
Di samping karena sunah Nabi Saw. yang terkenal adalah mewajibkan nafkah, jika ada kewajiban tempat tinggal.

Oleh karena itu, pendapat yang lebih baik dalam masalah ini, istri yang ditalak ba’in dalam keadaan tidak hamil itu memperoleh dua hak sekaligus; tempat tinggal dan nafkah, berdasarkan lahir ayat al-Qur’an, dan sunah rasul Saw. yang telah diketahui atau ketentuan umum ayat al-Qur’an ini dibatasi (ditakhshish) keumumannya dengan hadits Fatimah binti Qais tersebut. Akan tetapi, pemisahan antara kewajiban nafkah dengan tempat tinggal sulit dterima, dan segi kesulitannya adalah karena dalilnya lemah.

E. MUT’AH
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pemberian untuk menyenangkan hati istri (mut’ah) tidak diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai.

Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk seiap istri yang dcerai.
Segolongan fuqaha berpendapat bahwa my’ah haya disunatkan, tidak diwajibkan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Malik.

Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dar pihak suami, kecuali istri yang telah ditentukan mas kawin untuknya dan dicerai sebelum digauli. Jumhur ulama juga memegangin pendapat ini. Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah: (al-ahzab: 49)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Maka Allah mensyaratkan mut’ah diberikan pada istri yang belum didykhul. Allah berfirman: (al-baqarah: 237)

Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu...

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa istri tidak memperoleh mut’ah apabila telah ada penentuan mas kawin dan talak terjadi sebelum ada pergaulan. Sebab, apabila pemberian mas kawin untuk istri tidak wajib, tentu pemberian mut’ah untuknya lebih tidak wajib lagi.

Pendapat ini sungguh membingungkan karena apabila mas kawin belum ditetapkan untuknya, maka ditetapkanlah mut’ah sebagai penggantinya, da apabila separuh mas kawin dikembalikan dari tagan istri, maka tidak ditetapkan sesuatu pun untuknya.
Mengenai firman Allah: (al-baqarah: 236)
...dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya...

Syafi’i mengartikan perintah tentang mut’ah pada ayat ini kepada keumuman orang perempuan yang telah ditetapkan mas kawinnya dan diceraikan sebelum digauli.
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut’ah itu kepada keumumannya.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan mas kawin.

Oleh karena itu, fuqaha Zhahiri mengatakan bahwa khulu’ adalah aturan syara’, itu bisa memperoleh dan bisa memberi.

Dalam mengartikan perintah memberikan mut’ah itu “sunah”. Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat tersebut, yaitu: (al-baqarah: 236)
...yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Yakni bagi orang yang bermurah hati dalam mberbuat kebaik. Dan sesuatu hal yan termasuk dalam urusan kemurahan dan kebaikan hati tidak termasuk perkara yang wajib.

F. UKURAN MUT’AH

Kepada wanita yang diceraikan, Allah telah mewajibkan agar diberi mut’ah. Hanya saja ukurannya tidak Dia tentukan. Dia hanya memberi pengarahan uang sangat bijaksana, agar mut’ah itu diberikan dengan ukuran yang patut (ma’ruf) menurut kaya-miskinnya suami. Jadi masing-masing hedaknya memberi menurut kemampuannya sendiri-sendiri. Firman Allah Ta’ala: (al-baqarah: 236)
...dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

G. FIQIH YANG BERLANDAS ETIK-MORAL
Dalam realitasnya, wacana yang berkembang di kalangan umat Islam justru bukan masalah nafkah yang harus ditunaikan oleh “bekas” suami, melainkan kewajiban ‘iddah yang mesti dijalankan oleh “mantan” istri. Sangat terasa bahwa ketentuan ‘iddah yang dalam praktiknya telah dipahami sebagai beban dan urusan istri (perempuan) telah memperoleh perhatian yang jauh lebih serius baik dari sudut teoritisnya maupun pengawasan dan pelaksanaannya di lapangan ketimbang urusan nafkah yang pada dasarnya merupakan kewajiban lelaki (suami)--juga baik dari sudut teoritisnya maupun aplikatifnya.

Sesungguhnyalah, di samping untuk mengetahui tentang positif dan negatifnya rahim, ‘iddah pada saat diturunkannya telah berfungsi secara efektif sebagai upaya minimal untuk melindungi hak-hak perempuan pasca-perceraian dan kematian. Dalam batas waktu ‘iddah itu, perempuan masih berhak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Perlindungan ini misalnya terlihat dari desakan al-Qur`an pada suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya. Allah SWT berfirman (2:240),

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) di beri nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka”.
Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif social yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang waktu itu banyak yang terampas.

Di samping itu, ada pertimbangan lain yang bisa diajukan seputar disyari’atkannya ‘iddah dan ihdâd. Yaitu pertimbangan etis-moral, yang tentunya berbeda-beda aksentuasinya dari kasus per kasus, seiring dengan keberagaman latar belakang dan motivasi yang menyertai terjadinya perceraian.

Pertama, dalam kasus perceraian karena suami meninggal. Pada bagian ini, ‘iddah di samping bertujuan memperjelas status genetika juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (ihdâd). Tentu saja, berkabung yang perlu dijalani istri tidak boleh dijalani dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti yang telah ditampilkan masyarakat Arab jahiliyyah yang melarang perempuan mu’taddah untuk menyisir rambut, memotong kuku, dan sebagainya. Dengan demikian, selama masa ‘iddahnya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.

Kedua, dalam kasus talak raj’i. Dalam tataran ini, fungsi ‘iddah di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak raj’i, merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Ini paralel dengan dambaan Islam agar sekali pernikahan dilangsungkan maka harus diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak cerai, karena Allah akan sangat marah. Nabi bersabda, abghadl al-halâl ‘inda Allah ath- Thalâq. Dengan ketentuan ‘iddah ini, sesungguhnya Islam mengharapkan mereka berdua untuk kembali sebagai suami istri.

Walaupun demikian, Islam masih memberikan persyaratan bahwa jika sang suami sudah memutuskan untuk merujukinya, maka dia tidak boleh melakukannya dengan maksud menimbulkan kemudaratan bagi istrinya, baik fisik maupun mental, tetapi untuk menggaulinya dengan cara yang baik. Allah SWT. berfirman (2:231), “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddah-nya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…”.


Daftar Pustaka:
‘Abidin, Ibnu, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid III, Tanpa Tahun.
Ad-Dzahabiy, Asy-syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli as-Sunnah wa Madzhab al-Ja’fariyyah.
Al-‘Asqalaniy, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Semarang: Thaha Putera, 1982.
Al-Anshariy, Zakaria, Fath al-Wahhab Syarh Manhaj at-Thullab, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Tanpa Tahun.
Asy-Syairazi, Asy-Syaikh al-Imam az-Zahid al-Muwafiq Abi Ishaq Ibrahim Bin Ali Bin Yusuf Ali Fairuzzaabadi, al-Muhazzab, Surabaya: Ahmad Bin Said Bin Nabhah, t.t., jl. II
Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz VII.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata sosial, cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Kisyik, Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, di terj. Ida Mursida, Bandung: al-Bayan, 1995.
Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, pasal 149.
Rahman I, Abdur. Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, cet.1, Jakarata: Rineka Cipta, 1992.
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ind. Hill Co. Jakarta, 1991.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Sabiq, As-Sayid, Fiqh as-Sunnah, cet. 2, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973.
Sabiq, Sayid, Fiqih Sunah, cet. 7, jl. 8, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990.

0 comments:

Posting Komentar

 

Site Info


ShoutMix chat widget

Term of Use

Aisyah "Baby" Shafa Copyright © 2009 Community is Designed by Bie